BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika
islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum Muslimah telah dijanjikan oleh Al
– Quran akan menjadi komunitas terbaik dipanggung sejarah bagi sesama umat
manusia lainnya. Akibatnya diterimanya dorongan ajaran seperti ini , secara
tidak langsung telah memberikan produk
pandangan bagi mereka sendiri untuk melakukan permainan budaya sebaik mungkin.
Terdapat banyak perspektif dalam membaca banyak fakta
sejarah , terutama terhadap sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara
pandang tersebut sebagai akibat dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang
berbeda. Hal itu dipicu dari keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah
islam yang sebagian besar adalah sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang
berujung pada kepentingan kelompok maupun individual semata.
Banyak terjadi kerancuan-kerancuan ketika pemerintahan
sudah tidak berada dibawah kendali Rasulullah. Dalam hal ini terdapat empat
khalifah yg menggantikan Nabi dalam memimpin Umat Islam dengan selalu berpegang
pada al Qur’an dan Sunnah. pada periode ini, masih mencerminkan pola- pola yang
digagas dan dipraktekkan oleh Rasululah dalam menata dan mengurusi umat Islam,
terutama pada periode Abu Bakar yang
sepenuhnya hampir tidak melakukan perubahan-perubahan kebijakan.
Adapun format peradaban tampaknya lebih bnyak
dilakukan oleh dua khalifah berikutnya yaitu Umar bin Khathab dan Ustman bin
Affan. Hal ini dikarenakan mereka memerintah lebih lama dibandingkan dengan Abu
Bakar dan Ali bin Abi Thalib, sehingga fakta sejarah menunjukkan bahwa zaman al
Khulafa’ur Rasyidin tersebut termasuk kedalam zamann perkembangan Islam
yang cemerlang yang ditandai dengan ekspansi, integrasi, pertumbuhan, dan
kemajuan yang menunjukkan perdaban tersendiri dengan segala karakteristiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Khulafaur Rasyidin?
2. Bagaimana Problematika dan
realitas kepemimpinan Khalifah Abu
Bakar?
3. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab?
4. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan?
5. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
6. Bagaimana telaah dan kritik
kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradaban Muslim?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui arti Khulafaur Rasyidin
2. Mengetahui Problematika dan realitas
kepemimpinan Khalifah Abu
Bakar
3. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab
4. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
5. Mengetahui kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
6. Mengetahui telaah dan kritik
kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradaban Muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Khulafaur
Rasyidin
Menurut
bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah)
merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau
menempati tempatnya. Menurut istilah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin
umat Islam
setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW (570–632). Kata
"Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti"
atau "perwakilan".[1]
Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi
untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara
khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan
secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas
kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw selain
sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain
sebagainya. [2]
Adapun
yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para
pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil,
bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat
petunjuk dari Alloh. Tugas Khulafaur
Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan
kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian
dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas menggantikan
kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara
atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama.
Adapun tugas kerosulan tidak dapat digantikan oleh Khulafaur
Rasyidin karena Rasulullah adalah Nabi
dan Rosul yang terakhir. Setelah Beliau
tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.
Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah
mengatur kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur,
aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka
kholifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin
dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga
setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.
Khulafaur
Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat pasca Nabi wafat.
Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui
mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain
memberikan baiat (sumpah setia) pada
calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah ini , yaitu
: pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi. Kedua,
berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya. [3] Sahabat Rosulullah yang termasuk Khulafaur Rasyidin
adalah:
a) Abu Bakar As Shiddiq (11 – 13 H / 632 – 634 M)
b) Umar Bin Khattab (13 – 23 H / 634 – 644 M)
c) Utsman Bin Affan (24 – 36 H / 644 – 656 M)
B. Kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq
Abu
Bakar As Shiddiq ( nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud
bin Thaim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi
Al-Quraisy. Berarti silsilanya dengan Nabi bertemu pada Murrah bin Ka’ab. Abu
Bakar dilhirkan pada tahun 573 M. Dia dilahirka dilingkungan suku yang sangat
berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tkoh besar. Ayahnya bernama
Utsman (Abu Quhafah) bin Amir bin Amr
bin Ka’ab bin Sa’ad bin Laymbin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay, berasal dari suku
Quraisy,sedangkan ibunya bernama Ummu al Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin
Sa’ad bin Taym bin Murrah.garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab
bin Sa’ad. [5]
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk
islam ketika islam mulai didakwakan. Baginya tidaklah sulit untuk mempercayai
ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dikarenakan sejak kecil, ia telah
mengenal keagungan Muhammad. Setelah
masuk islam, ia tidak segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta bendanya
untuk Islam. Tercatat dalam sejarah, dia pernah membela Nabi ketika Nabi
disakiti oleh suku Quraisy,menemani Rasul Hijrah, membantu kaum yang lemah dan
memerdekakannya, seperti terhadap Bilal , setia dalam peperangan dll. [6]
Tentang pribadinya, Abu Bakar terkenal sebagai orang
yang berakhlak mulia , jujur, cerdas, cakap ,kuat kemauan dan pemberani serta
beliau terkenal rendah hati , pemaaf dan dermawan.
Pada awal perkembangan islam , orang laki-laki yang
pertama yang masuk islam adalah Abu Bakar. Hartanya banyak dikorbankan untuk
kepentingan dakwah islam. Kesetiaan Abu Bakar terhadap islam dan Rosulullah
tidak diragukan lagi. Oleh karena itu , Rosulullah memilih Abu Bakar menjadi
sahabat perjalanan hijrah ke Yastrib.
[7] Selain itu ia
juga pernah ditunjuk Rosul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat
ketika Nabi sakit[8]
a) Proses Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah
Rosulullah meninggal dunia pada tahun 11 H (632 M). [9] setelah sebagian penduduk Arabia masuk islam.
Wafatnya Rosulullah menghadirkan masyarakat islam kepada situasi kritis kepemimpinan.ketika
Rosulullah masi hidup tidak pernah menunjuk diantara sahabat yang
menggantikannya sebagai pemimpin umat islam. Bahkan tidak pula membentuk suatu
dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Setelah Rosulullah wafat para sahabat terpencar-
pencar. Pertama : Sahabat Nabi dari kalangan Anshor telah bergabung
dengan Sa’ad bin Ubadah diertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Kedua : Sahabat
dari kalangan Muhajirin – Ali bi Abi Tholib, Zubair bin Awwam dan Tolhah bin
Ubaidillahtingal dirumah Siti Fatimah. Ketiga : kalangan Muhajirin
selain ketiga tokoh tersebut bergabung dengan Abu Bakar.
Sahabat Nabi dari kalangan Anshor yang telah berkumpul
di Saqifah bani Sa’idah telah sepakat untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah. Untk
menjadi pemimpin umat islam tanpa dihadiri oleh kaum Muhajirn. Tetapi dari suku
Aus tidak memberi dukungan kepada Sa’ad bin Ubadah. Abu Bakar dan Umar bin
Khattab datang ke Saqifah Bani Sa’idah,
kemudian berpidato dihadapan sahabat Anshor yang sedang bermusyawarah dengan
memberikan tawaran berupa pembagan wewenang ( power sharing) agar umat islam
tidak terpecah. Akhirnya timbul ketegangan diantara para sahabat Anshor dan Abu
Bakar. Setelah ketegangan mulai mereda, Abu Bakar menawarkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah
(keduanya dari kalangan Muhajirin) dan mempersilahkan dari kalangan Ansar unuk
membaiat salah satu dai mereka. Akan tetapi keduanya menolak dan berkata : “engkau
(Abu Bakar) adalah Muhajirin yang paling utama,engkau yang menemani Rasulullah
saat di Gua Tsur, dan menggntikan Rasulullah menjadi imam sholat ketika
Rasulullah berhalangan. Abu Bakar akhirnya diangkat menjadi khalifah setelah
melalui musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah”. [10]
Sepak terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat
dipahami dari pidato Abu Bakar ketika ia diangkat menjadi khalifah. Secara
lengkap pidatonya sebagai berikut.
“ Wahai manusia sungguh aku telah memangku jabatan
yang kamu kerjakan, padahal aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila
aku melaksanakan tugasku dengan baik,bantulah aku, dan jika aku berbuat salah ,
luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu
penghianatan. Orang yanglemah diantara kamu adalah orang yang kuat bagi ku
sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagi
ku hingga aku mengambil haknya, Insya Allah.janganlah salah seorang darimu
meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka
Allah akan menimpakan suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rosul Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan RosulNya, sekali-kali jangan lah kamu menaanti ku .
Dirikanlah shalat , semoga Allah merahmati kamu” [11]
Ucapan pertama ketika di bai’at, ini menunjukkan garis
besar politik dan kebijakan abu bakar dalam pemerintahan. Di dalamnya terdapat
prinsip kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan,
dan mendorong masyarakat berijtihad, serta sholat sebagai intisari takwa.
Ø Problematika ketika kepemimpinan Abu Bakar As-shidiq:
1.Penyelesaian Kaum Riddat dan Nabi
Palsu
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
2.
Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan hal ini disebabkan adanya an-ggapan bahwa
setelah Nabi Muhammad SAW. Wafat, maka segala perjanjian Nabi menjadi terputus.
Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua: yatiu
a. Mereka yang menganggap Nabi dan pengikutnya, termasuk didalamnya orang yang meninggalakan sholat, zakat dan kembali mmelakukan kebiasaqan jahliah.
b. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
a. Mereka yang menganggap Nabi dan pengikutnya, termasuk didalamnya orang yang meninggalakan sholat, zakat dan kembali mmelakukan kebiasaqan jahliah.
b. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
3.Penyelesaian Kaum Riddat dan Nabi
Palsu
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Ø Realitas ketika kepemimpinan Abu Bakar As-shidiq:
1.Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah
Sejarah mengatakan bahwa, Rasulullah ketika wafat pada tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat orang yang akan menggatikannya. Oleh karena itu para sahib segerah bermusyawarah di suatu tempat yaitu tsaqifah bani saidah guna memili pengganti Rosulullah untuk memimpin umat islam. Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terja perpecahan di antara golongan, karena masing-masing golongan mengajukan colon pemimpimn dari golongannya sendiri-sendiri. Pihak dari ansor mencalonkan sa’ad bin Ubaidah, sedangkan pihak lain menghendaki Ali bin Abi Tholib sebagai penganti beliau. Peristiwa itu diketahui umar, kemudian ia pergi ke kediaman Nabi dan mengutus seorang untuk menemani Abu Bakar. Kemudian ia berangkat dan dalam perjalanan ia bertemu dengan Ubaidah bin Jarrah. Setibannya dibalai Bani Sa’ad, ia mendapat dua golongan besar kaum Anshar dan Muhajirin sedang bersitegang
2. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pergantian Abu Bakar sebagai kholifah sebagaimana dijelaskan pada peristiwa tsaqifah bani sayyidah, merupakan bukti bahwa kholifah menjadi kholifah bukan masa kehendaknya sendiri, tetapi hasil musyawarah mufakat ummat Islam. Maka mulailah beliau menjalankan kekholifahannya, baik sebagai pemimpin ummat maupun sebagai pemimipin pemerintahan
Adapun sistem politik islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral” jadi kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun sedemikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Karena sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakar dalam pemerintahannya, itu makin memperkuat persatuan itu . Karena rasa tangung jawab yang begitu tinggi dalam diri Abu Bakar juga, maka setipap tindakan yang akan dilakukanya ia musyawarahkan terlebih dulu dan beristikhoroh kapada Allah. Jika Allah telah memberikan pilihannya maka barulah Ia bertindak.
Sejarah mengatakan bahwa, Rasulullah ketika wafat pada tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat orang yang akan menggatikannya. Oleh karena itu para sahib segerah bermusyawarah di suatu tempat yaitu tsaqifah bani saidah guna memili pengganti Rosulullah untuk memimpin umat islam. Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terja perpecahan di antara golongan, karena masing-masing golongan mengajukan colon pemimpimn dari golongannya sendiri-sendiri. Pihak dari ansor mencalonkan sa’ad bin Ubaidah, sedangkan pihak lain menghendaki Ali bin Abi Tholib sebagai penganti beliau. Peristiwa itu diketahui umar, kemudian ia pergi ke kediaman Nabi dan mengutus seorang untuk menemani Abu Bakar. Kemudian ia berangkat dan dalam perjalanan ia bertemu dengan Ubaidah bin Jarrah. Setibannya dibalai Bani Sa’ad, ia mendapat dua golongan besar kaum Anshar dan Muhajirin sedang bersitegang
2. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pergantian Abu Bakar sebagai kholifah sebagaimana dijelaskan pada peristiwa tsaqifah bani sayyidah, merupakan bukti bahwa kholifah menjadi kholifah bukan masa kehendaknya sendiri, tetapi hasil musyawarah mufakat ummat Islam. Maka mulailah beliau menjalankan kekholifahannya, baik sebagai pemimpin ummat maupun sebagai pemimipin pemerintahan
Adapun sistem politik islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral” jadi kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun sedemikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Karena sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakar dalam pemerintahannya, itu makin memperkuat persatuan itu . Karena rasa tangung jawab yang begitu tinggi dalam diri Abu Bakar juga, maka setipap tindakan yang akan dilakukanya ia musyawarahkan terlebih dulu dan beristikhoroh kapada Allah. Jika Allah telah memberikan pilihannya maka barulah Ia bertindak.
3. Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika Beliu masih hidup. Sebenarny dikalangan para sahabat termasuk Umar bin Khottob banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan kholifah ini. Alasan mereka, karena dalam negeri sendiri paada saat itu timbul gejala kemunafikaqn dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan islam dari dalam. Tapi Abu bakar tetap mengirim pasukaqn usamah un tuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah Nabi SAW.
4. Amanat
Baitul Mal
Para sahabat Nabi, beranggap bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengijingkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran pada sesuatu darinya. Yang berlawanan dengan apa yamg telah ditetapkan oleh syari;at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan baitul mal untuk mencapai tujuan pribadi.
Para sahabat Nabi, beranggap bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengijingkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran pada sesuatu darinya. Yang berlawanan dengan apa yamg telah ditetapkan oleh syari;at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan baitul mal untuk mencapai tujuan pribadi.
5. Kekuasaan Undang-Undang
Abu Bakar tdak pernah menempatkan diri beliau di atas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapkan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslimn maupun non Muslim.[12]
Abu Bakar tdak pernah menempatkan diri beliau di atas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapkan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslimn maupun non Muslim.[12]
C.KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB
1.Nasab Umar bin Khattab
Dilahirkan 12
tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya
bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang
menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta
warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau dibesarkan di dalam
lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau
merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya adalah .Umar bin
Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah
bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab
Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau
bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah
memberi beliau "kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah
adalah anaknya yang paling tua dan memberi "laqab" (julukan)
Al Faruq.[13]
2. Kepemerintahan Umar
bin Khattab
Keislaman beliau telah
memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah
pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan
kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan
kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau
adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah
setelah Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan Umar bin Khattab
tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah
SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam
bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah,
Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam masa kepemimpinan sepuluh
tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting
dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk
kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang
kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636),
pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada
tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun
641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus
menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam
menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo
tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan Islam terhadap Irak
yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan
sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam
terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan
Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di
bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu
langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan
mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin
Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai
sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin
Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan
bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika
Utara.
Selain pemberani, Umar bin
Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim
dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, ”Seandainya ilmu Umar bin Khattab
diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi
diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih
berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat bahwa Umar bin
Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan
konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf,
menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara
(Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih
dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran,
membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal
laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum
"khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang
dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.
Namun dengan begitu beliau
tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang
zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan
rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, ”Pada suatu hari Umar bin
Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi
dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah,
sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu
orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata,
”Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar
merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Beliaulah yang lebih dahulu
lapar dan yang paling terakhir kenyang, Beliau berjanji tidak akan makan minyak
samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya.[14]
Tidak diragukan lagi, khalifah
Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam
mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba
kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan
kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat
Jum'at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan
Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa
tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin
Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum
wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan,
dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi SAW. Mereka
adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan
salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab
selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka
Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana
telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.
3.Wafatnya Umar bin Khattab
Pada hari Rabu bulan Dzulhijah
tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat
Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin
Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab
dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia
63 tahun.[15]
D. kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
1.Nasab
Utsman bin Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani
Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhammad saw. pada generasi
ke-5. Sebelum masuk islam ia dipanggil degan sebutan Abu Amr. Ia begelar
Dzunnurain, karena menikahi dua putri Nabi saw. (menjadi khalifah 644-655 M)
adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat
memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera
setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar
mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana dilakukan
Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat seperti dilakukan
Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan
Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
2.
kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun,
pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa
di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda
dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’
Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini
gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan
fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35
H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang
yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap
kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan
tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah.
Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak
anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana
boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu
lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh
Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin
Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas
masjid Nabi di Madinah.Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Ø Usaha-usaha yang dilakukan:
·
Perluasan Wilayah Islam
Seperti yang telah dikemukakan
diatas bahwasanya Utsman harus bekerja lebih keras lagi dalam mempertahankan
dan melanjutkan perjuangan panji Islam sebab berbagai ancaman dan rintangan
akan semakin berat untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah tersiar
tanda-tanda adanya negeri yang pernah ditaklukkan oleh Islam hendak berbalik
memberontak padanya. Namun demikian, meski disana-sini banyak kesulitan beliau
sanggup meredakan dan menumpas segala pembangkangan mereka, bahkan pada masa
ini Islam berhasil tersebar hampir ke seluruh belahan dunia mulai dari
Anatolia, dan Asia kecil, Afganistan, Samarkand, Tashkent, Turkmenistan,
Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut seperti Libya, Aljazair, Tunisia,
Maroko dan Ethiopia. Maka Islam lebih luas wilayahnya jika dibandingkan dengan
Imperium sebelumnya yakni Romawi dan Persia karena Islam telah menguasai hampir
sebagian besar daratan Asia dan Afrika.
·
Pembentukan Armada Laut Islam
Pertama
Ide atau gagasan untuk membuat
sebuah armada laut Islam sebenarnya telah ada sejak masa kekhalifahan Umar Ibn
khattab namun beliau menolaknya lantaran khawatir akan membebani kaum muslimin
pada saat itu. Setelah kekhalifahan berpindah tangan pada Utsman maka gagasan
itu diangkat kembali kepermukaan dan berhasil menjadi kesepakatan bahwa kaum
muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan meskipn sang khalifah
mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali dengan sukarela.
Berkat armada laut ini wilayah Islam bertambah luas setelah menaklukkan pulau
Cyprus meski harus melewati peperangan yang melelahkan.
·
Kodifikasi Al-Qur’an
Masa penyusunan Al-qur’an memang
telah ada pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar Bin Khaththab yang
kemudian disimpan ditangan istri Nabi Hafsah binti Umar. Berdasar pertimbangan
bahwa banyak dari para penghafal Al-Qur’an yang gugur usai peperangan Yamamah.
Kini setelah Ustman memegang tonggak kepemimpinan dan bertambah luas pula
wilayah kekuasaan Islam maka banyak ditemukan perbedaan lahjah dan bacaan
terhadap Al-Qur’an. Inilah yang mendorong beliau untuk menyusun kembali
Al-Qur’an yang ada pada Hafsah dan menyeragamkannya kedalam bahasa Quraisy agar
tidak terjadi perselisihan antara umat dikemudian hari. Seperti halnya kitab suci
umat lain yang selalu berbeda antar sekte yang satu dengan yang
lainnya.
3.Akhir Masa Kepemimpinan Ustman Bin Affan
Satu dekade pertama kepemimpinan
Ustman adalah masa yang dipenuhi dengan prestasi penting dan kesejahteraan
ekonomi yang tiada duanya, terkecuali pada dua tahun terakhir yang berbanding
terbalik dengan sebelumnya kondisi serba sulit akibat merebaknya fitnah dan
kedengkian musuh-musuh Islam yang diarahkan padanya sehingga beliau syahid
dengan amat tragis pada jum’at sore 18 Dzulhijjah 35 H ditangan pemberontak
Islam.
E.
kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
HALIFAH
ALI BIN ABI THALIB
A. Profil Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali
ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi. Sewaktu lahir beliau
bernama Haydar (al-Hayadarah) oleh ibunya yang bernama Fatimah binti As’ad,
namun kemudian diganti oleh ayahnya yang bernama Abu Thalib ibn Abd Muththalib
dengan nama Ali. Beliau juga gelar Abu Thurab (Si Bapak debu-tanah) oleh nabi karena
pernah dijumpai tidur diatas tanah.
Saudara sepupu dan putra angkat nabi
ini lahir di dalam Ka’bah pada 600 M., tahun 23 sebelum hijrah. Beliau
tergolong generasi pertama yang memeluk islam setelah Khadijah binti Khuwailid,
sesaat setelah al-Qur’an memerintahkan nabi untuk memberi peringatan kepada
kerabat-kerabatnya.
Sejak
memeluk islam, beliau selalu bersama dengan rasulullah saw. Taat kepadanya dan
banyak menyaksikan proses turunnya wahyu. Sebagai anak asuh yang dibesarkan di
rumah nabi. Sejak kecilnya beliau sangat disayangi sehingga tatkala tiba usia
dewasa, beliau dinikahkan dengan putri nabi yang bernama Fatimah. [16]
Ali dikenal sangat zahid
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah
tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan
sederhana itu bukan hanya diterapkan pada dirinya, melainkan juga kepada
putra-putrinya.
Ali
adalah sahabat yang sangat disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam
ilmu pengetahuan, baik soal hukum, rahasia ketuhanan maupun segala persoalan
keagamaan secara teoritis dan praktis. Rasulullah sendiri memujinya sebagaimana
sabdanya: Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah kuncinya.
Disamping
cerdas, Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa.
Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Beliau mempunyai sebilah pedang
warisan dari rasululullah saw.bernama “Zul Fiqar” Beliau turut serta pada
hampir semua peperangan yang terjadi pada masa rasulullah saw. dan selalu
menjadi andalan di barisan terdepan.
B.
Ali ibn Abi Thalib: Khalifah,
Perjuangan dan
Tantangan.
Pada
saat Abu Bakar menjadi khalifah di usianya yang keenam puluh, Ali saat itu
adalah sudah menjadi tokoh muda yang energik yang baru berusia tiga puluh
tahunan, namun orang-orang disekitarnya selalu meminta pandangan-pandangannya
dalam berbagai hal. Ali tetap menyatakan kesetiaannya kepada ketiga khalifah
dan mengakui abilitas dan integritasnya. Ali memiliki kontribusi yang besar
dalam usaha konsolidasi kekuatan islam, yang sedang menghadapi berbagai
tantangan sepeninggal rasululullah saw. meskipun beliau dianggap salah seorang
yang paling pantas untuk menggantikan rasulullah, beliau tidak menampilkan diri
untuk menjadi kandidat khalifah. Beliau malah menolak tawaran yang diajukan
oleh Abbas (paman nabi), dan Abu Sofyan yang secara sukarela menyatakan dukungan
dan kesetiaannya pada Ali untuk menjadi khalifah. Beliau ditempatkan oleh
banyak kalangan dalam sederetan negarawan ulung yang ditandai dengan sikap
legowo, setia mendukung Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai khalifah.
Posisi
terhormat Ali ibn Abi Thalib tergambar dari kebijakan Umar bin Khattab atas
pengangkatannya dalam komisi Syura “Komisi Pemilih” di penghujung usianya.
Komisi ini bertugas memilih khalifah penerus tonggak kepemimpinan.
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan Ali ibn Abi Thalib senantiasa memberi
nasehat agar beliau bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan
penyelewengan yang mengatas namakan dirinya, namun nasehat-nasehat tersebut
tidak ditanggapi. Akibatnya, orang-orang yang tidak setuju kepadanya
melancarkan protes dan huru-hara. Utsman bin Affan memimpin kekhalifahan selama
12 tahun namun para sejarawan mencatat bahwa tidak seluruh masa kepemimpinannya
meraih kesuksesan. Enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik
enam tahun berikutnya masa pemerintahan yang buruk. Paruh terakhir kepemimpinan
khalifah Utsman menghadapi banyak pemberontakan dan oposisi sebagai bentuk
protes ummat islam atas kebijakan pemerintahannya yang cenderung terlalu
mengakomodir kepentingan-kepentingan Bani Umayyah.[17]
Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk
pemberontakan pada tahun 35 H./656 M., ketika rombongan pemberontak dari
Bashrah dan Mesir bergerak ke Madinah di bawah kepemimpinan para Qurra(oposisi
kaum shaleh. Dalam keadaan terdesak, Utsman meminta bantuan kepada
Ali. Ketika itu Ali berupaya memadamkan kekacauan sekuat mungkin, tetapi
keadaan sangat sulit. Ketika rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali
memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk bersiaga di rumah Utsman
dan melindunginya dari kerumunan orang. Akan tetapi karena pemberontak
berjumlah besar dan sudah kalap, mereka didesak dan didorong ke samping oleh
massa, sehingga nyawa khalifah Utsman tidak dapat diselamatkan.
Dalam suasana keruh menyusul
pembunuhan khalifah Utsman, pandangan orang mulai mengarah kepada Ali ibn Abi
Thalib. Banyak yang menyebutkan posisi dan keutamaan beliau. Kaum muslimin di
Madinah didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari Mesir, Basrah dan
Kufah, meminta kesediaan Ali untuk dibai’at menjadi khalifah. Mereka
beranggapan bahwa tidak ada lagi selain Ali yang patut menduduki kursi khalifah
setelah Utsman.
Pada saat itu, stabilitas keamanan
di kota Madinah menjadi rawan, disaat yang sama kebingungan melanda kota,
penduduk dihantui perasaan takut dan tidak tenang, hukum tidak berlaku, para
sahabat bertebaran di berbagai kota, apalagi pada waktu itu bertepatan dengan
musim haji, banyak diantara sahabat-sahabat terkemuka yang menunaikan ibadah
haji, diantaranya adalah Aisyah r.a. Kecuali beberapa diantaranya yang tetap
berada di Madinah di bawah pimpinan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam. Sedangkan mereka itu tidak semuanya menyokong Ali.Walaupun
demikian Ali tetap dibai’at sebagai
khalifah keempat oleh mayoritas sahabat yang ada di Madinah, termasuk didalamnya
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta para pemberontak.
Peristiwa
pembai’atan ini terjadi pada hari Jum’at,13 Dzul Hijjah 35 H./23 Juni 656 M di
Mesjid Nabawi, seperti pembai’atan para khalifah sebelumnya.
Ali sendiri
sesungguhnya tidaklah terlalu berambisi dengan jabatan itu, pada awalnya beliau
menampik dengan mengatakan bahwa Thalhah dan Zubairlah yang lebih cocok untuk
menempati posisi kekhalifahan tersebut. Hanya karena terus-menerus didesak,
kemudian dukungan yang datang makin gencar, akhirnya beliau menerima jabatan
tersebut.
Seperti
halnya ketiga khalifah sebelumnya, sesaat setelah terpilih, khalifah Ali juga
menyampaikan pidato sambutan khalifah yang diawali dengan ucapan syukur dan
puja-puji kepada Allah swt. Diiringi dengan shalawat kepada Nabi dan
keluarganya, kemudian dilanjutkan:
“Hadirin
saudaraku, kalian telah membai’at saya sebagaimana yang telah kalian lakukan
terhadap khalifah-khalifah sebelum saya. Saya hanya boleh mengelak sebelum
jatuh pilihan, tetapi kalau pilihan telah dijatuhkan , maka saya tak dapat lagi
menolak. Imam atau pemimpin harus teguh dan rakyat mesti patuh. Bai’at terhadap
diri saya ini adalah bai’at yang rata dan umum. Barang siapa yang ingkar
darinya terpisahlah ia dari agama Islam.”
“Kaum
muslimin sekalian, sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan al-Qur’an yang
didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk tentang kebaikan dan keburukan. Maka
ambillah yang baik niscaya kalian akan memperoleh petunjuk yang benar, dan
jauhilah yang jelek agar kalian terhindar dari akibat buruknya.”
Allah
ta’ala mengharamkan sesuatu dan ada pula yang dihalalkannya. Perhatikanlah
sungguh-sungguh dan kerjakanlah yang halal itu serta tinggalkanlah yang haram,
pasti kalian akan diantar ke surga. Taatilah perintah Allah dan janganlah
berbuat maksiat. Suatu pekerjaan hendaklah ditunaikan secara ikhlas. Seorang
muslim ialah mereka yang tidak menyakiti sesamanya, baik dengan lidah (kata)
maupun dengan anggota tubuhnya ( sikap dan perbuatan). Tidak boleh mengambil
harta bendanya tak juga boleh mencela perangainya, kecuali dengan alasan yang
benar.”
“Hendaklah
kalian saling berpacu dalam memperbanyak perbuatan kebajikan untuk kepentingan
masyarakat. Janganlah takut menghadapi kematian, karena bagaimanapun juga
kematian pasti bakal datang menjemput dimana saja. Jagalah ketakwaan kamu
kepada Allah swt. Dan jangan menentangnya. Hindarilah mengambil harta orang
lain, sebab kamu nanti akan ditanyai Allah apa saja yang kamu kerjakan, walau
urusan terhadap hewan sekalipun. Kalau melihat kebaikan hendaklah kalian
lakukan dan jika tampak olehnya kejahatan, maka jauhi dan tinggalkanlah.
Segera
setelah dibai’at, khalifah Ali mengambil langkah-langkah politik[18][18], yaitu:
a. Memecat para pejabat yang diangkat
oleh Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur lalu menunjuk penggantinya.
b. Mengambil tanah yang telah dibagikan
Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya.
c. Memberikan kepada kaum muslimin
tunjangan yang diambil dari bait al-mal, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu
Bakar, pemberian dilakukan secara merata, tanpa membedakan sahabat yang lebih
dulu memeluk agama Islam atau yang belakangan.
d. Meninggalkan kota Madinah dan
menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
1. Tantangan dari Thalhah cs
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin
Abi Thalib diwarnai dengan berbagai pemberontakan. Tidak berselang lama setelah
mengambil kebijakan-kebijakan, beliau menghadapi tantangan dari berbagai pihak
diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah. Mereka-mereka
inilah yang menuntut khalifah agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dan
yang sangat disayangkan, pihak-pihak
yang terlibat langsung menyaksikan terjadinya tragedi tersebut juga ikut
menuntut.
Ada juga yang berpendapat bahwa
pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk
merebut jabatan khalifah, akan tetapi mereka tidak mempunyai cukup dukungan
Sementara itu Aisyah ikut terlibat
karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, Abdullah bin
Zubair yang juga berambisi menjadi khalifah. Dan juga, konon Aisyah dari dulu
tidak akur dengan Ali. Thalhah dan Zubair bertemu dengan Aisyah dalam
perjalanannya ke Mekkah dengan alasan pergi Haji.
Akan tetapi tuntutan mereka sangat
sulit dikabulkan oleh khalifah dengan alasan: pertama, karena tugas
utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi
seperti saat itu adalah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan
kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah
sebab khalifah Utsman tidak dibunuh oleh satu orang saja, melainkan banyak
orang dari Mesir, Irak, dan Arab yang secara langsung terlibat dalam perbuatan
makar tersebut.
Sementara itu, di Mekkah telah
berkumpul para tokoh oposisi yang menginginkan agar hukuman segera dijatuhkan
kepada para pembunuh utsman, gubernur-gubernur yang diangkat pada masa utsman
yang berasal dari Bashrah dan Yaman telah membawa semua dana yang mampu mereka
bawa ke Mekkah ketika mereka dinyatakan dipecat dari jabatannya oleh khalifah
Ali. Lalu uang tersebut mereka pergunakan untuk mempersenjatai kekuatan mereka
yang direncanakan untuk menghajar Bashrah, setelah itu mereka kemudian mencari
dukungan dari Aisyah.
Namun khalifah Ali mendengar rencana
mereka itu, dengan cepat beliau mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke
Bashrah. Sesampai disana, khalifah tidak segera menyerang, tetapi berupaya
untuk berdamai dengan mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau
berunding. Namun tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai sehingga kontak senjata
yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan lagi.
Peperangan yang terjadi pada tahun
36 H.di Khuraibah (seputar kota Bashrah) terkenal dengan nama “Perang Unta” (jamal),
karena dalam peperangan itu Aisyah menunggangi unta. Peperangan tersebut
memakan banyak korban, kurang lebih 20.000 kaum muslimin gugur dalam peristiwa
perang tersebut. Peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Khalifah. Thalhah dan
Zubair ikut terbunuh ketika hendak melarikan diri, sementara Aisyah berhasil
ditawan dan dikawal kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan sebagai Ummul
Mu’minin, sedangkan beliau tetap berada diatas untanya.
Segera setelah menyelesaikan gerakan
Thalhah cs, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Madinah Sejak saat
itu berakhir menjadi ibu kota kedaulatan Islam, dan tidak ada lagi khalifah
yang berkuasa berdiam disana.
2. Tantangan dari Mu’awiyah
Seperti halnya Thalhah cs,
kebijakan-kebijakan khalifah Ali juga mengakibatkan timbulnya pemberontakan
dari Mu’awiyah selaku gubernur Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman,
Mu’awiyah enggan menyerahkan jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap
pembangkangan ini tidak ditindaki dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah
hanya mengirim surat undangan untuk datang menghadap kepada khalifah dan
sekaligus menyatakan kesetiaannya pada Ali sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah
menolak hingga akhirnya berkobar lagi pertempuran antar sesama muslim.
Khalifah Ali beserta pasukannya
bergerak meninggalkan Kufah menuju Syam.Mendengar berita kedatangan mereka,
Mu’awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan
bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin[19][22].
Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
Pada peperangan yang terjadi pada
tanggal 1 shafar 37 H./657 M. di dekat sungai Eufrat tersebut, khalifah
mengerahkan 50.000 pasukan. Setelah perang berlangsung beberapa hari, pasukan
Mu’awiyah terdesak dengan gugurnya 7.000 pasukannya dan tanda-tanda kemenangan
terlihat dipihak Khalifah Ali.[20]
Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya
terdesak Amr bin Ash sebagai penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai
berunding, meminta agar Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf
al-Qur’an di ujung tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim
(arbitrase) dengan demikian Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
Mendengar tawaran itu, para imam
yang berada di pihak khalifah mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu
diterima. Dengan demikian, dicarilah jalan damai dengan mendakan
hakam(perundingan damai). Perundingan berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana
masing-masing pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah).
Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak khalifah Ali
ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[21][24] Kedua hakim
itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr bin Ash dikenal pandai
berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang yang lurus, rendah hati
dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai
yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan
sebelumnyata antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari
jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum
muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin Ash, ia menyatakan persetujuannya atas pemberhentian
Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi
Mu’awiyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuat
bersama Abu Musa. Sepak terjangnya dalam
peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak keputusan tahkim
tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.
3. Tantangan dari Khawarij
Sikap khalifah Ali yang menerima
tawaran berdamai dari pihak yang semula menyikong beliau dalam menumpas
pemberontakan Mu’awiyah itu kemudian keluar dari barisan dan bahkan berbalik
memusuhinya. Oleh sebab itu mereka dinamai kaum “Khawarij”(orang-orang yang
keluar). Dalam keyakinan merekan yang setuju ber-tahkim telah melanggar ajaran
agama. Menurut mereka, hanya tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia.
Semboyan mereka adalah “La Hukma Illa Billah” (tiada hukum kecuali bagi
Allah). Ali dan pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu
berunding dengan lawan[22]
[23]
Kelompok Khawarij menyingkir ke
Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Disana mereka mengangkat pemimpin sendiri,
Syibis bin Rubi’it al-Tamimi sebagai
panglima angkatan pereang dan Abdullah bin Wahan al-Rasibi sebagai pemimpin
keagamaan. Setelah itu mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur
khalifah dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk didalamnya
Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.
Untuk
menghadapi situasi itu, khalifah terpaksa berangkat dengan tentaranya untuk
menghadapi Khawarij. Mula-mula khalifah berpidato mengajak mereka supaya taat
dan kembali ke barisannya. Akan tetapi mereka enggan dan menjawab:
“ Kami telah menjadi kafir karena ber-tahkim kepada
manusia oleh karena itu kami bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam.
Kini akuilah bahwa dirimu juga telah menjadi kafir,karena itu hendaklah
bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam, sebagaimana yang telah kami
lakukan.”
Khalifah Ali mencela tuntutan mereka yang begitu
rendah, karena itu beliau berkata kepada mereka:
“Apakah sesudah aku beriman,berhijrah dan berjihad
bersama Rasulullah lalu aku mengakui diriku menjadi kafir? Diriku tak pernah
kembali kepada kekafiran sekejap pun semenjak aku beriman kepada Allah.”
Kemudian mereka menjawab:
“Kami tak hendak berbicara denganmu selain ini. Hanya
peranglah yang akan menentukan antara kami dan kamu.”
Mendengar pernyataan ini, khalifah segera mengatur
pasukan-pasukannya dan bersiap-siap untuk memerangi mereka. Posisi khalifah
saat itu serba sulit. Di satu pihak, Beliau ingin menghancurkan Mu’awiyah yang
semakin kuat di Syam, sementara di pihak lain kekuatan Khawarij akan menjadi
sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya khalifah mengambil
keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, kemudian menyerang
Syam.
Pertempuran sengit antara pasukan khalifah dan pasukan
Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 38 H. dan
berakhir dengan kemenangan di pihak khalifah. Kelompok Khawarij berhasil
dihancurkan dalam waktu singkat, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan
diri. Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab al-Rasibi ikut terbunuh.
Sejak itu kaum Khawarij menjadi lebih radikal.
Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka, sehingga secara
diam-diam mereka mereka merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang yang
dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat.[24]
Tiga orang yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash dan Mu’awiyah.
Pelaksana tugas atas rencana pembunuhan tersebut terdiri dari tiga orang pula,
yaitu: Abd. Rahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh khalifah di Kufah,
Barak bin Abdillah al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Syam, dan
Amr bin Abu Bakar al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir.
Namun diantara mereka, hanya Abd.Rahman bin Muljam saja yang berhasil
menunaikan tugasnya. Ia menusuk khalifah Ali dengan pedang beracun ketika
beliau hendak shalat subuh di Mesjid Kufah. Dua hari kemudian khalifah Ali
menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada tanggal 19 Ramadhan 40 H./ 25
Januari 661 M. Dalam usia 63 tahun.
F.KRITIK TERHADAP KEPEMIMPINAN
KHULAFAUR ROSYIDIN
Menurut kelompok kami kepemimpinan KHULAFAUR
ROSYIDIN sangat lah baik dan apabila pemerintah di orde baru ini menggunakan
metode-metode ini akan sangat efektif dalam pembangunan ataupun kedamaiannya.
Seharusnya kita di orde ini
meneladani dan mengamalkan metode serta perilaku yang di pakai oleh terdahulu
kita,jika di tanya apa kekurangan-kerungan kepemimpinan khulafaurrosyidin ?
kami sulit menjawab. Tetapi ada beberapa usaha yang di lakukan kurang bisa di
terima oleh masyarakat umum (non islam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar